Muslimah for Change

Muslimah seutuhnya dalam membangun perubahan. (Sumber: Dok/TebuirengOnline)

“Muslimah dapat melakukan perubahan?”

“Tentu.”

Muslimah ataupun kaum perempuan Islam dapat mengambil berbagai peran untuk melakukan perubahan, sebagaimana kaum laki-laki. Salah satu contohnya, yaitu menjadi pemimpin. Ihwal kepemimpinan sendiri tidak selalu identik dengan peran yang harus dimainkan oleh laki-laki.

Hal tersebut karena secara empiris tidak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan perempuan pun sudah mulai dan akan terus diperhitungkan. Walaupun jumlahnya masih terbatas, akan tetapi para pemimpin muslimah pun sudah banyak memberikan pengaruhnya dan mampu berkontribusi secara nyata dan signifikan.

Kesuksesan perempuan-perempuan muslim dalam mengambil peran kepemimpinan, tidak hanya terjadi saat ini, namun jauh pada zaman dahulu juga terdapat tokoh-tokoh pemimpin dari kalangan muslim perempuan yang namanya tetap dikenang hingga sekarang, karena apa? Karena mereka berhasil melakukan perubahan hingga membawa kemaslahatan, seperti Siti Khadijah.

Sebelum menjadi istri Rasulullah Saw., Khadijah binti Khuwailid merupakan saudagar perempuan yang kaya raya dan cukup disegani di kalangan bani Quraish.  Selain mandiri, gigih, dan piawai dalam memimpin bisnisnya, Siti Khadijah juga terkenal karena kebaikan hatinya, sehingga tidak heran Rasulullah Saw pun sangat mengagumi dan mencintai beliau.

Dalam perjalanannya mendampingi Rasulullah Saw, Siti Khadijah pun mengambil peran yang cukup besar, ia menjadi perempuan pertama yang mengakui ke-Nabi-an Muhammad hingga rela mengorbakan hartanya demi dakwah Islam.

Di Indonesia sendiri, kita mengenal cukup banyak tokoh perempuan muslim yang berhasil memimpin, mempelopori, hingga menginspirasi banyak orang, seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Opu Daeng Risaju, dan Laksamana Malahayati. Oleh sebab itu, hak memimpin tidak hanya dimiliki oleh satu genitalia saja, namun merupakan hak setiap orang, baik puan maupun tuan, yang harus didukung dan dihormati oleh semua pihak.

Dengan demikian, tampilnya seorang perempuan menjadi pemimpin sepatutnya tidak dipermasalahkan bahkan tidak perlu menjadi momok yang menakutkan selama ia tidak meninggalkan kewajiban dan kodratnya sebagai perempuan.

Sayangnya, banyak narasi agama, baik ayat Al Qur’an maupun hadis, yang diinterpretasikan sepihak sehingga mendiskreditkan kepemimpinan perempuan, seperti surat An-Nisa ayat 34 dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.

Padahal, jika ditinjau secara teologis maka ada cukup banyak ayat al Qur’an yang menyebutkan tentang manusia (baca: laki-laki dan perempuan) merupakah khalifah di muka bumi, seperti dalam surat al Baqarah ayat 30. Bahkan, dalam sebuah hadis pun disebutkan bahwa:

عن ابن عمررضي الله عنهما قال : سَمِعْـتُ رَسُـوْلَ الله صَـلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : (كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُــلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ  عَنْ رَعِيَّتِهِ….) متّفق عليه

Artinya: Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa “Setiap kalian adalah pemimpin …” (HR. Bukhari Muslim).

Berdasarkan rujukan tersebut, maka ihwal kepemimpinan tidak mutlak menjadi hak laki-laki karena pada hakikatnya setiap diri manusia memiliki ruh kepemimpinan yang bersifat inheren. Oleh karena itu, ketika ada seorang muslimah yang mampu mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin, tidak perlu dihujat tapi berikanlah ia kesempatan untuk bisa berkiprah dan melakukan perubahan. Dengan demikian, kriteria utama untuk menjadi seorang pemimpin bukan didasarkan pada jenis kelaminnya, melainkan pada kecakapan dan integritasnya. Wallahu a’lam

Scroll to Top